Senin, 28 Mei 2012

Menyusuri Pesona Pahatan Alam Goa Cerme


LETIH yang menyerang usai menyusuri lorong goa hampir lima belas menit lenyap dalam sekejab. Pesona stalakmit sebesar gajah di kiri lorong menjadi pembuka kemegahan Goa Cerme diwilayah kecamatan Imogiri Bantul. Pemandangan ornamen yang terbentuk dari tetesan air berzat kapur selama jutaan tahun lampau menjadi sayang untuk dilewatkan.

Menaklukkan Cerme tidak hanya memuaskan mata oleh eloknya stalakmit dan  stalaktit di sepanjang lorong. Lebih dari itu, yakni semakin menyadarkan kita tentang keagungan Yang Maha Kuasa menciptakan jagat raya ini.  

Memutuskan masuk Gua dengan ribuan stalakmit dan stalaktit berarti harus menyiapkan mental. Karena begitu kaki  menginjakkan kaki di lorong  gua dingin air aliran bawah tanah dingin menusuk tulang hingga akhir lorong gua di Dusun Ploso Desa Girikerto Kecamatan Panggang, Gunungkidul.

Selama di dalam gua anda akan banyak menemui stalaktit atau ornamen menggantung di atas lorong bentukan karena tetesan air kapur. Sedang stalakmit, ornamen menyembul dari dasar gua akibat tetesa air kapur dari atas. Termasuk colloumn gabungan stalaktit dan stalakmit menjadi sebuah tiang.
Gua dengan ketinggian 300 meter di atas permukaan air laut itu menyimpan banyak cerita. Termasuk adanya sebuah stalakmit ukuran besar dan lebar yang sering di sebut lokasi bertemunya para Wali.

Jangan pernah membayangkan semua mudah. Mata harus meningkatkan kewaspadaan, bila tidak ingin terperosok. Tidak hanya itu, bila tidak mengikuti arahan pemandu kaki anda akan tersangkut pada bongkahan batu kapur. Namun semua perjuangan  selama perjalanan itu akan terbayar lunas oleh keelokan alam bawah Pegunungan Seribu itu. Di dalam gua itu pula anda akan  menemukan air terjun mini sebagai pelengkap indahnya Goa Cerme. (Sukro Riyadi)

Asyiknya Menelusuri Gua Lowo

GUA LOWO menjadi salah satu tujuan wisata di Kabupaten Trenggalek, Provinsi Jawa Timur. Wisata alam ini tak jauh dari Pantai Prigi yang juga menjadi andalan karena menyajikan panorama yang indah.

Gua ini terletak di Desa Watuagung Kecamatan Watulimo Kabupaten Trenggalek. Gua ini terletak sekitar 30 kilometer dari Kota Trenggalek. Sedangkan dari Yogyakarta - Trenggalek bisa ditempuh perjalanan darat selama enam jam. Gua Lowo, atau gua kelelawar memiliki keajaiban alam berupa bentukan bebatuan mineral cantik secara alamiah. Bentuknya mirip binatang Singa atau Kura-kura sehingga bebatuan itu diberi nama sesuai bentuknya.

Tiba di kawasan Gua Lowo, pengunjung disambut suasana udara pegunungan yang sejuk dengan aroma hutan jati yang khas. Gua Lowo memang dikelilingi hutan jati yang rimbun. Begitu melewati mulut gua pengunjung langsung disambut ruang gua pertama yang cukup luas. Langit - langit gua ini memiliki ketinggian 20-50 meter, dengan lebar gua sekitar 50 meter.

Keindahan dinding gua dengan stalaktit menggantung maupun stalagmit yang mencuat dapat dinikmati selepas pengunjung masuk mulut gua. Gua ini telah dilengkapi sarana penerangan listrik dan jalan jembatan buatan yang memudahkan pengunjung mengamati suasana sejuk dan segar gua yang dialiri air bersih bergemericik dibawahnya.

Berdasarkan survei ahli gua Gilbert Manthovani dan Dr. Robert K Kho tahun 1984 dinyatakan bahwa Gua Lowo merupakan gua alam terbesar di Asia Tenggara dengan panjang gua 800 Meter. Gua ini mempunyai sembilan ruang utama yang agak lebar dan beberapa ruang kecil. Gua Lowo juga menyimpan berbagai misteri. 

Menurut cerita, seorang bernama Mbah Lomedjo dahulu kala masuk hutan mencari tempat untuk melaksanakan semedi. Dia menemukan gua kecil yang dianggap cocok untuk bertapa yakni sebuah gua dekat dengan kedung yang berwarna
kebiru-biruan, yang akhirnya dinamakan Kedung Biru. "Kedung Biru lokasinya kurang lebih 600 meter timur laut Gua Lowo. Petilasan ini sampai sekarang masih digunakan orang - orang untuk bertapa," ujar Yuyuk, salah seorang petugas di Gua Lowo.

Dari hasil berpuasa dan bersemedi, Mbah Lomedjo mendapat mimpi bahwa sekitar tempat dia bertapa ada sebuah gua lain yang lebih besar tempat bersembunyi berbagai hewan buruan. Ia lalu mencari dan menemukan Gua Lowo yang lebih besar, gelap, dan dipenuhi kelelawar dengan bau yang menyengak hidung. Masyarakat lalu menyebut tempat itu dengan nama Gua
Lowo. Di titik-titik tertentu, memang masih dapat ditemukan banyak kelelawar beterbangan di atas gua ini.

Pemerintah Kabupaten Trenggalek sejaK 1984 menjadikan obyek wisata unggulan. Namun keterbatasan dana dan situasi
yang kurang menunjang saat itu mengakibatkan pengembangannya sangat lamban sehingga hingga kini belum terlalu banyak dikenal dan dikunjungi wisatawan. Jalan aspal beberapa ratus meter menuju gua ini belum mulus.

Namun sudah ada usaha mempolulerkan tampat ini, salah satunya dengan membangun arena mainan anak - anak di luar gua. Pada hari libur seringkali juga ada hiburan musik yang dipentaskan dipanggung gembira. Salah satu usaha lain untuk meramaikan objek wisata ini adalah memasang 'sound system' di beberapa titik gua. Sayangnya fasilitas ini dirasa justru mengganggu.Ketika dikunjungi penulis, justru diputar musik dangdut keras-keras, yang malah menghilangkan suasana alami, damai dan khusyuk di kawasan gua ini.(Denny Hermawan)

Minggu, 27 Mei 2012

Fenomena 'Cahaya Surga' di Gua Jomblang

GUNUNGKIDUL (KRjogja.com)  - Gua Jomblang atau Luweng Grubeg layak dikunjungi petualang yang suka menyusuri gua (caver) karena satu-satunya gua dengan pintu masuk cahaya atau dikenal dengan cahaya surga. Tak usah disangsikan keindahannya sehingga menjadi buah bibir para petualang.

Gua Jomblang merupakan gua vertikal yang memang sangat dilindungi dan bukan sembarang orang bisa mengunjunginya.Gua Jomblang terletak di Jetis Wetan, Panjangrejo, Semanu,  Gunungkidul. Lokasi gua ini berjarak 10 km dari Alun-alun Wonosari selama 60 menit atau sekitar 60 km dari Kota Yogyakarta selama 1,5 jam.

Pemilik Jomblang Resort, Cahyo Alkantana mengatakan awal mulanya dirinya tertarik untuk mengelola Jomblang sebagai ekowisata karena keprihatinannya terhadap kerusakan lingkungan di Gunungkidul. Kawasan karst ini sejak dahulu sudah di tambang hingga di sekitar gua-gua sehingga sangat rawan, bahkan ditakutkan rusak dan runtuh gua-gua yang memiliki potensi wisata.

"Saya prihatin pada saat mengenal Gua Jomblang pertama ar tahun 1995 banyak pohon-pohon besar ditebang untuk bahan bakar karenaharga minyak tanah mahal. Warga di kawasan tersebut membutuhkan bahan bakar yang murah pengganti minyak karena alasan perekonomian mereka yang cukup parah," paparnya, Minggu (27/5).

Padahal, kata Cahyo kawasan itu memiliki pesona dari sinar over of ligth atau sering disebut wisatawan sebagai cahaya surga yang hanya ada satu didunia dan sangat cantik sekali. Guna melindungi sekaligus memberi penghidupan masyarakat sekitar tanpa merusak lingkungan, maka konsep ekowisata dipilihnya. "Gua Jomblang akan menjadi ekowisata bukan wisata masal atau mass tourism. Nantinya, akan berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan," katanya.

Karena itu, tantangan yang dihadapi adalah melakukan konservasi dan membangun fasilitas pendukung agar wisatawan nyaman dan menimkati wisata ini. "Saya harus membuat agar wisatawan dapat menuruni tebing dan menyusuri gua dengan mudah agar semua orang bisa menikmati dari anak-anak hingga yang berusia lanjut. Wisata yang nyaman dengan pendekatan adventurenya harus ada satu paket yang tentunya tidak mudah dikemas," tuturnya.             

Pengelola sekaligus instruktur Gua Jomblang, Kurniawan Adhi Wibowo menambahkan mayoritas wisatawan domestik dan mancanegara ingin meneliti termasuk mendalami karakteristik gua. Selain itu, mempelajari kehidupan hayati dan hewani di dalamnya yang  cukup beragam Sebelum melihat lebih dekat ke gua, penjelajah biasanya istirahat dulu di Jomblang Resort yang awalnya dibangun untuk para peneliti. Tapi sekarang, bisa memanfaatkan resort yang tersedia.

"Masyarakat setempat menyebutnya Luweng Jomblang. Gua vertikal bertipe collapse doline ini terbentuk akibat proses geologi  amblesnya tanah beserta vegetasi di atasnya ke dasar bumi yang terjadi ribuan tahun lalu," ujar pemuda yang akrab disapa Pithik ini.

Pithik menceritakan runtuhan tersebut membentuk sinkhole atau sumuran yang dalam bahasa Jawa disebut Luweng. Karena itu, mulut gua berdiameter  50 meter itu sering disebut dengan nama Luweng Jomblang. Bahkan berupa gua vertikal, para caver harus melalui tahap yang paling mendebarkan. Di sinilah dibutuhkan keberanian, karena untuk masuk gua harus mampu teknik tali tunggal atau single rope technique (SRT). "Bagi para wisatawan dan caver di sini wajib gunakan peralatan khusus SRT set yang terdiri dari seat harness, chest harness, ascender, auto descender, footloop, dan lainnya. Untuk pelengkap ada coverall, sepatu boot, dan headlamp,” imbuhnya.

Sebelum menuruni tebing, Pithik terlebih dahulu menjelaskan mengenai sekelumit Gua Jomblang dan peraturan yang harus ditaati caver demi keselamatan dan keamanan.  Di bawah instruksinya setelah para caver memakai peratalan standar SRT set, satu persatu caver turun ke dasar gua dengan total kedalaman 80 meter.

Ada tiga jalur yang bisa dilalui, yakni VIP  dengan kedalaman 15 meter, standar  dengan kedalaman 60 meter dan ekstrim  dengan kedalaman 80 meter."Bagi pemula, biasanya gunakan jalur VIP meski bisa juga melalui jalur standar. Di jalur standar ini, caver akan mendarat tepat di hutan purba yang ada di dasar gua. Hutan inilah yang membedakan Luweng Jomblang dengan gua lainnya dan wisata di sini disebut juga ekowisata," jelasnya

Tepat di dasar Luweng Jomblang terhampar gua horizontal yang cukup lebar. Ini adalah pintu masuk menuju Gua atau Luweng Grubug yang berjarak sekitar 300 meter dari dasar Luweng Jomblang. Berjalan di lorong kegelapan sekitar 10 menit, para penelusur akan langsung menemui sebuah fenomena alam yang yang sangat mengagumkan. Di dasar Luweng Grubug terdapat dua buah stalagmit besar berwarna hijau kecoklatan.

Apabila penjelajah dapat mencapai dasar Grubug pada pukul 12.00-13.00 WIB, pemandangan sinar matahari yang menerobos kegelapan gua akan begitu menakjubkan yang disebut Cahaya Surga. Bagi wisatawan yang ini mencoba menyusuri Gua Jomblang dikenakan tarif  sebesar Rp 450 ribu per orang sudah termasuk full fasilitas dan makan siang. Bagi yang ingin  bermalam di resort, tinggal menambah Rp 350.000/orang.  "Jomblang Resort idak setiap hari melayani wisatawan. Di akhir pekan pun tidak selalu ada pengunjung dan  kalaupun ada berkisar 3-4 orang. Kami  berkewajiban menjaga kelestarian gua ini  beserta hutan purbanya maka tidak banyak wisatawan tidak menjadi masalah," imbuh Pithik.

Mengenai pembatasan jumlah wisatawan yang masuk sebanyak 25 orang per sekali cave tubing secara bersamaan di Gua Jomblang, Cahyo mengatakan angka ini didapatkan berdasarkan daya dukung gua dengan menggunakan pendekatan menghitung jumlah orang yang diperbolehkan masuk dalam gua tersebut. Pasalnya pembatasan ini dilakukan agar ekosistem di gua tersebut cepat pulih. Jomblang dapat menjadi salah satu wisata petualangan ekotourism denga menawarkakan Jomblang Cave untuk susur gua (caving), Jomblang Wall untuk panjat tebing (climbing) dan Jomblang Lake pada tahun 2013. (Fir)